PERNYATAAN SIKAP KOALISI PEREMPUAN INDONESIA WILAYAH JAWA TIMUR (KPI JATIM)
Atas penolakan Uji materi Undang-undang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) frasa umur 16 (enam belas)tahun dan pasal 7 ayat (2).
Saat hukum buta pada kelompok rentan.
Keputusan MK menolak permohonan pengujian Undang-undang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) frasa umur 16 (enam belas) tahun dan pasal 7 ayat (2) pada tanggal 18 Juni 2015. Dengan menolak menaikkan usia perkawinan anak perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun. Dalam undang-undang no.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak juncto, undang-undang 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak, menyebutkan bahwa anak adalah manusia yg berusia di bawah 18 tahun, begitu pula dengan undng-undng HAM dan Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi oleh Negara Indonesia. Hal ini menunjukkan kemunduran berlangsungnya demokrasi yang menghormati, memenuhi dan menjamin hak atas perlindungan kelompok rentan yakni anak.
Saat hukum buta pada kelompok rentan.
Keputusan MK menolak permohonan pengujian Undang-undang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) frasa umur 16 (enam belas) tahun dan pasal 7 ayat (2) pada tanggal 18 Juni 2015. Dengan menolak menaikkan usia perkawinan anak perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun. Dalam undang-undang no.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak juncto, undang-undang 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak, menyebutkan bahwa anak adalah manusia yg berusia di bawah 18 tahun, begitu pula dengan undng-undng HAM dan Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi oleh Negara Indonesia. Hal ini menunjukkan kemunduran berlangsungnya demokrasi yang menghormati, memenuhi dan menjamin hak atas perlindungan kelompok rentan yakni anak.
Pemerintah Indonesia dalam Undang-Undang no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak juncto Undang-Undang no.35 tahun 2014, Pasal 26 ayat 1c menyatakan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Adanya benturan antar pasal dalam undang-undang yang berbeda ini membuat masyarakat dan para penegak hukum berkesulitan dalam menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya. Mahkamah konstitusi tentu membuat pertimbangan dari berbagai dimensi termasuk menggunakan pertimbangan sosial budaya dan tentu mempertimbangkan undang-undang yang lain pula yang mengatur tentang hal serupa. Namun yang kami sesalkan keberadaan konvensi hak anak dan undang-undang perlindungan anak serta undang-undang tentang Hak Asasi Manusia tidak cukup mengubah perspektif para hakim MK dalam membuat keputusan.
Perkawinan adalah hak setiap orang yang harus dijamin, dilindungi oleh negara karena merupakan hak asasi maka perlu ada pengaturan agar tidak merugikan pihak dengan relasi kuasa yg lebih lemah karena persoalan budaya dan penafsiran yang tidak fair bagi anak yang jelas dan nyatanya belum cakap, serta belum memiliki kematangan psikologi dan fisik. Anak sebagai manusia yang mengalami tumbuh kembang dengan fisik, mental, psikologi masih mengalami pertumbuhan dan berada pada proses psikologi yang labil, perlu mendapatkan perlakuan spesifik. Mengingat anak adalah manusia yang juga dijamin Hak Asasi Manusianya, karena dengan adanya standar khusus bagi anak adalah bagian dari penghargaan entitasnya, standar khusus dalam HAM bagi anak adalah bentuk spesifik yang hanya ada pada usia anak untuk menjamin bila anak diperlakukan sesuai dengan haknya yang berbeda dengan orang dewasa.
Angka statistik pernikahan dini dengan pengantin dibawah 16 tahun tepatnya di Jawa Timur 39,43% dari jumlah anak di jawa timur. 1 dari 5 anak Indonesia, menikah pada usia 15-18 tahun. Pernikahan ketika masih berusia anak adalah pernikahan dengan kondisi yang belum siap bagi anak. Karena secara kesehatan anak masih mengalami tumbuh kembang untuk tubuhnya, bukan untuk janin yang dikandung anak perempuan, organ reproduksinya pun belum siap untuk aktivitas reproduksi. Akibatnya anak mengalami anemia pada saat hamil, mengalami kematian ibu, mengalami kematian bayi ataupun melahirkan bayi dengan gizi rendah (bawah garis merah). Tercatat angka kematian ibu indonesia masih 359/100 ribu kelahiran dan 32 bayi mati/1000 kelahiran. Kondisi ini harus diselesaikan dengan kebijakan yang akan mengatur secara sistem bagaimana anak perempuan mendapatkan hak hidupnya, hak tumbuh kembangnya dan hak untuk memilih tidak menikah di usia anak serta hak bebas dari paksaan pernikahan.
Pernikahan usia anak yang memposisikan anak melakukan hubungan seksual lebih awal. Hal ini adalah salah satu faktor risiko terjadinya kanker leher rahim. Pada usia anak sel-sel leher rahimnya belum matang. Jika terdapat Human Papilloma Virus (HPV) pertumbuhan sel akan menyimpang menjadi kanker. Berdasarkan data Departemen Kesehatan RI, di Indonesia terdapat 90-100 kasus kanker leher rahim per 100.000 penduduk. Setiap tahun terjadi 200.000 kasus kanker leher rahim. Anak perempuan adalah kelompok yang paling dirugikan dalam perkawina usia anak, karena ketidaksiapan organ seksualnya.
Pada Pernikahan usia dini juga sangat rentan bagi anak mengalami kekerasan. Kekerasan dalam rumah tangga menjadi salah satu penyebab angka perceraian yang meningkat. Penyebab perceraian tertinggi karena tidak ada keharmonisan dalam rumah tangga, selain itu tidak ada tanggung jawab masing-masing pihak. Ditinjau dari segi psikologis, kondisi emosi dan mental remaja belum stabil. Kestabilan emosi umumnya terjadi usia 24 tahun, karena pada saat itulah orang mulai memasuki usia dewasa. Sedangkan anak masih bersifat labil dan berupaya menemukan jati dirinya. Perkawinan usia dini juga dapat menjadi angin segar bagi para pedofilia yang masih bebas di Indonesia, mengingat Indonesia belum memiliki aturan spesifik untuk menindak para pelaku kejahatan seksual diantaranya pelaku pedofil.
Pertimbangan usia 16 tahun tidak dinaikkan dalam perkawinan dengan alasan mengakomodir budaya di Indonesia yang masih banyak mengawinkan anak usia anak (dibawah 18 tahun) bukan sebagai pertimbangan yang bijak. Karena anak-anak dalam hal ini seringkali tidak dihadapkan pada pilihan atas masa depannya. Anak tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan atau tidak dijalankan dengan partisipatif, anak tidak memahami konsekuensi atas keputusan yang diambil oleh pihak lain atas masa depannya. Kondisi yang ada masih mengikuti tradisi yang belum berpihak pada anak sebagai kelompok rentan. Justru karena kerentanan nya anak harus dilindungi dari praktek-praktek tradisi yang membahayakan masa depannya termasuk dalam hal pendidikan, kesehatan, hak menyampaikan pendapat, dll. Sekali lagi, hukum harus bertindak adil bagi kelompok rentan.
Pertimbangan usia 16 tahun tidak dinaikkan dalam perkawinan karena anak zaman sekarang telah mengenal seks lebih dini dan sudah baligh sehingga perkawinan usia 16 tahun dianggap telah memadai agar tidak terjadi free sex. Akan lebih bijak bila melihat adanya free sex karena media informasi yang tidak tersaring dengan baik di negara ini. Pendampingan orang tua yang kurang pada anak. Anak sudah baligh maka anak memiliki nafsu seks dan hal ini yang harus di didik pada anak agar bisa mengelola diri mereka. Pendidikan seks tidak diberikan pada anak (kebanyakan di institusi pendidikan formal hanya sebatas mengenalkan organ tubuh yang dirasa kurang, bahkan sepertinya tidak mengenalkan lebih kepada fungsinya, cara merawat, menjaga, melindungi, melaporkan bila terjadi kekerasan, dampak seks, penataan masa depan anak, dll.). Perlu penyelesian yang sistemik dan berjejaring antara institusi pendidikan, orang tua dan masyarakat untuk menguatkan anak agar tidak dijerumuskan dalam free sex, bukan menikahkan anak.
Pada anak perempuan yang mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), pemerkosan, kekerasan seksual, akan mengalami trauma dan merasa gagal dalam perjalanan hidupnya. Menikahkan mereka juga bukan solusi, karena akan menjadikan mereka korban untuk yang kedua kalinya. Bisa dibayangkan mereka harus hidup dengan orang yang melakukan kekerasan padanya, anak harus hidup dengan orang yang memperkosanya. Anak membutuhkan penguatan dan perlindungan serta pemenuhan haknya sebagai korban, Cukup sudah penderitaan anak kita. Mereka punya hak untuk memilih hidup dan masa depan yang lebih baik dengan pendampingan orang tua dan dukungan lingkungan untuk kehidupan yang lebih bermartabat.
Pertimbangan usia 16 tahun tidak dinaikkan dalam perkawinan karena anak zaman sekarang telah mengenal seks lebih dini dan sudah baligh sehingga perkawinan usia 16 tahun dianggap telah memadai agar tidak terjadi free sex. Akan lebih bijak bila melihat adanya free sex karena media informasi yang tidak tersaring dengan baik di negara ini. Pendampingan orang tua yang kurang pada anak. Anak sudah baligh maka anak memiliki nafsu seks dan hal ini yang harus di didik pada anak agar bisa mengelola diri mereka. Pendidikan seks tidak diberikan pada anak (kebanyakan di institusi pendidikan formal hanya sebatas mengenalkan organ tubuh yang dirasa kurang, bahkan sepertinya tidak mengenalkan lebih kepada fungsinya, cara merawat, menjaga, melindungi, melaporkan bila terjadi kekerasan, dampak seks, penataan masa depan anak, dll.). Perlu penyelesian yang sistemik dan berjejaring antara institusi pendidikan, orang tua dan masyarakat untuk menguatkan anak agar tidak dijerumuskan dalam free sex, bukan menikahkan anak.
Pada anak perempuan yang mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), pemerkosan, kekerasan seksual, akan mengalami trauma dan merasa gagal dalam perjalanan hidupnya. Menikahkan mereka juga bukan solusi, karena akan menjadikan mereka korban untuk yang kedua kalinya. Bisa dibayangkan mereka harus hidup dengan orang yang melakukan kekerasan padanya, anak harus hidup dengan orang yang memperkosanya. Anak membutuhkan penguatan dan perlindungan serta pemenuhan haknya sebagai korban, Cukup sudah penderitaan anak kita. Mereka punya hak untuk memilih hidup dan masa depan yang lebih baik dengan pendampingan orang tua dan dukungan lingkungan untuk kehidupan yang lebih bermartabat.
Kami, Koalisi Perempuan Indonesia wilayah Jawa Timur mendorong pemerintah Indonesia untuk memenuhi janjinya dalam penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, menghormati - memenuhi dan melindungi hak perempuan. Kami meminta pemerintah untuk segera mengambil langkah strategis dalam penghapusan praktek perkawinan usia anak. Kami menyerukan pada :
1. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesi untuk segera merevisi Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang pernikahan, dengan langkah partisipati yakni mendengarkan pengalaman perempuan yang mengalami pernikahan usia anak, termasuk pula melakukan konsultasi dengan kelompok-kelompok anak yang ada di tingkat Provinsi, Kabupaten, maupun Kecamatan.
2. Presiden Republik Indonesia, segera merumuskan kebijakan strategis dan menjalankannya mengenai penghentian laju pernikahan anak di Indonesia, memastikan setiap anak untuk mendapatkan hak pendidikan 12 tahun dengan mengalokasikan anggaran pendidikan, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan reproduksi bagi remaja, baik remaja perempuan maupun laki-laki.
Terhadap putusan ini, kami menyampaikan keprihatinan mendalam, namun sebagai organisasi gerakan perempuan, kami KPI jawa timur akan tetap melakukan upaya-upaya perlindungan anak termasuk penghapusan praktek perkawinan anak di Indonesia.
1. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesi untuk segera merevisi Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang pernikahan, dengan langkah partisipati yakni mendengarkan pengalaman perempuan yang mengalami pernikahan usia anak, termasuk pula melakukan konsultasi dengan kelompok-kelompok anak yang ada di tingkat Provinsi, Kabupaten, maupun Kecamatan.
2. Presiden Republik Indonesia, segera merumuskan kebijakan strategis dan menjalankannya mengenai penghentian laju pernikahan anak di Indonesia, memastikan setiap anak untuk mendapatkan hak pendidikan 12 tahun dengan mengalokasikan anggaran pendidikan, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan reproduksi bagi remaja, baik remaja perempuan maupun laki-laki.
Terhadap putusan ini, kami menyampaikan keprihatinan mendalam, namun sebagai organisasi gerakan perempuan, kami KPI jawa timur akan tetap melakukan upaya-upaya perlindungan anak termasuk penghapusan praktek perkawinan anak di Indonesia.
Salam Keadilan dan Demokrasi
Koalisi Perempuan Indonesia Wilayah Jawa Timur
Wiwik Afifah, S.Pi., MH.
Sekretaris Wilayah KPI JATIM